KALTENG. BERSAMA-Kekhawatiran Denny Indrayana terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materil (JR) sistem pemilu terbuka, terbukti isapan jempol belaka.
Sistem pemilu 2024 mendatang akan tetap menggunakan sistem profesional terbuka, seperti periode-periode sebelumnya. Hal itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materiil (JR) alias uji materiil sistem pemilu yang tertuang dalam perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022.
Dengan demikian, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. “Di sidang, diputuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan di Gedung MK di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/6/2023).
Putusan ini diambil oleh 9 hakim MK dengan satu hakim dissenting opinion, yakni hakim konstitusi Arief Hidayat.
Sidang pleno pembacaan putusan dihadiri 8 hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.
Perkara dengan nomor 114/PUU-XX/2022 tentang Pengujian Material Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan oleh enam pemohon.
Mereka adalah Demas Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Pemohon meminta agar sistem Pemilu 2024 diubah dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka.
Para Pemohon memeriksa Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat ( 2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu tentang ketentuan sistem proporsional terbuka dalam pemilu.
Para Pemohon menilai UU Pemilu telah mengerdilkan atau melemahkan organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Pasalnya, dalam menentukan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut seperti daftar caleg yang disiapkan partai politik, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak secara perseorangan.
Menurut para Pemohon, model penetapan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo justru membuat caleg merasa parpol hanya sebagai kendaraan untuk menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan, bukan parpol. (*/wisata)